himpunan pengahayat keparcayaan atau HPK adalah sebuah wadah bagi para penganut ajaran-ajaran leluhur (bukan agama) yang masih mau menjaga dan melestarikan ajaran-ajaran leluhur tersebut.
HPK adalah organisasi yang di lindungi oleh pemerintah dibawah asuhan dan pengawasan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata di setiap kota dan daerah di seluruh Indonesia.
Organisasi ini memiliki visi dan misi bersama, yakni mengangkat kembali nilai-nilai luhur bangsa yang berbasis pada olah spiritual guna membangun indonesia yang utuh dan tanpa pecah belah.
Organisasi HPK sudah merupakan organisasi yang tumbuh dan berkembang sejak lama namun pada beberapa periode organisasi ini melemah dan hampir hilang dari peredaran.
Oleh sebab itu kami mengajak para pengguna fesbuk yang masih mau dan mampu terus eksis membantu memperkuat akar dari organisasi Himpunan Penghayat Kepercayaan yang nantinya menjadi landasan awal dan pangkal akhir kejayaan Indonesia, negeri kita tercinta ini.
MAJU TERUS INDONESIA, JAYALAH BANGSAKU JAYALAH NEGERIKU
HPK Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
FORMASI KRITIS"NING NANG NING GUNG" VS ketidakadilan
oleh Sapto rahardjo di ambil dari paguyuban CENTHINI
Perilaku
polos orang jawa akan nampak tegas ketika menghadapi hegemoni dan
kekuasaan yang membawa misi ketidakadilan dan pembungkaman. Mereka akan
melakukan kesadaran kolektif yang sesuai lagu Ning Nang Ning Gung di
bawah ini, sebagai perilaku perlawanan secara moral dan etis tanpa
kekerasan. sebut saja pola polos yang dimiliki masyarakat jawa osing,
samin, kalangan yang tersebar di jawa timur, jawa tengah dan yogyakarta.
Daripada ikut berjuang dengan menumpang alat perjuangan politik dan
sosial, tetapi pada akhirnya hanya tertipu dan tertipu serta terus jadi
korban. akhirnya lebih baik berpola polos dan dengan pemikiran kritis
menyederhanakan perilaku sepolos - polosnya terhadap kebijakan penguasa.
Apabila mengikuti cara penguasa dianggap hanya akan ikut serta
menghancurkan bangsanya dan ikut berperan secara sadar untuk mau di adu
domba sesama bangsanya. saya hantarkan lirik dan arti lagu perlawanan
kritis yang tergolong gerakan sosial ini............
Ning nang ning gung pak bayan, sego jagung ora doyan
Formasi gending tanda marabahaya akan terjadi, tandanya nasi jagung tidak selera lagi
Jamane wes jaman edhan, yen ra edhan ra kedhuman
Jamanya sudah jaman serba tidak waras atau gila tidak sadar diri, ajakan ikut tidak waras
Jaman kemajuan, ning lali paugeran
Sudah jaman modern tetapi justru lupa dan meninggalkan nasehat leluhur dgn sengaja
Inggah inggih jebul ra kepanggih
Mengatakan sanggup dan bersedia tapi hanya kata – kata saja dan tidak dikerjakan
Iya iyo mung waton suloyo
Jika mengatakan ya untuk melakukan perkerjaan, dilakukan tetapi sengajadikerjakan asal - asalan
Sluman slumun lambeane wes mesthi ra cetho
Selalu cari selamat dan bersembunyi serta menjauhi samapai tidak jelas
Ingah ingih wani omong yen wong e ra ono
Berani membicarakan orang tidak berhadapan tapi sembunyi tangan
Plilak plilik isine culiko
Tetapi selalu awas dan curiga serta kawatir
Glenak glenik yen tanggane mulyo
Sering ngrumpi menghancurkan karakter orangnya penguasa
Ubyang ubyung gaweane ngerasani wong lio
Sering bergerombol dan membicarakan keluputan penguasa
Imbas imbis dijak maju kok malah klewo klewo
Selalu tidak mau atas bujukan memajukan peradaban sang penguasa
Pingine mulyo ning podho wegah rekoso
Ingin sejahtera dan bahagia tetapi tidak mau nertangung jawab
Ning nang ning gung pak bayan, sego jagung ora doyan
Formasi gending sabda tanda marabahaya akan terjadi, tandanya nasi jagung tidak selera lagi
Jamane dudu jaman perang, tapi kok isih do grejekan
Padahal jaman tidak dalam situasi perang, tetapi masih berpikir irasional
Ning nang ning gung pak bayan, sego jagung ora doyan
Formasi gending sabda tanda marabahaya akan terjadi, tandanya nasi jagung tidak selera lagi
Dudu kebon dudu latar, dijak ngulon malah ngetan
Bukan lahan dan bukan halaman lapang, justru diajak kekanan kok malah kekiri dan serba berlawanan
Ning nang ning gung pak bayan, iwak kebo iwak jaran
Formasi gending sabda tanda marabahaya akan terjadi, perilaku seperti kuda dan kerbau dungu
Ning nang ning gung pak bayan, uwong bodho gelelengan
Formasi gending sabda tanda marabahaya akan terjadi, bodoh dan polos tapi sombong dan angkuh
Ning nang ning gung pak bayan, jamane wes jaman edhan
Formasi gending sabda tanda marabahaya akan terjadi, bahwa jaman sekarang sudah jaman serba tidak waras atau tidak sempurna.
Sangatlah cocok dengan kondisi di masyarakat Jawa di akar rumput.
gerakan kritis ini adalah simpul gerakan kesadaran untuk melakukan
perlawanan tanpa kekerasan. di pastikan akan menang nantinya jika sudah
saatnya. formasi ini disebut formasi budaya "Ngluruk tanpa bala menang
tanpa ngasorake, sugih tanpa banda, sekti tanpa aji - aji. Inilah salah
satu penyebab rasionalisme sistem yang diterapkan dalam modernisasi atau
sistem demokrasi ternyata tidak mampu terakses di akar rumput karena
perilaku ini. sebab itu penguasa akan kesulitan melakukan sosialisasi
demi kebutuhan demokrasi itu sendiri.
JALAN SETAPAK MENUJU NUSANTARA JAYA BEDAH TELISIK SPIRITUAL WASIAT NENEK MOYANG
Menelisik Misteri Sabdo Palon
Dalam upaya menelisik misteri siapa sejatinya Sabdo Palon, saya
mengawali dengan mengkaji Serat Darmagandhul dan ramalan Sabdo Palon.
Di sini tidak akan dipersoalkan siapa yang membuat karya-karya tersebut
untuk tidak menimbulkan banyak perdebatan. Karena penjelasan secara
akal penalaran amatlah rumit, namun dengan pendekatan spiritual
dapatlah ditarik benang merahnya yang akan membawa kepada satu titik
terang. Dan ini akhirnya dapat dirunut secara logika historis.
Menarik memang di dalam mencari jawab tentang siapakah Sabdo Palon?
Karena kata Sabdo Palon Noyo Genggong sebagai penasehat spiritual Prabu
Brawijaya V ( memerintah tahun 1453 – 1478 ) tidak hanya dapat ditemui
di dalam Serat Darmagandhul saja, namun di dalam bait-bait terakhir
ramalan Joyoboyo (1135 – 1157) juga telah disebut-sebut, yaitu bait 164
dan 173 yang menggambarkan tentang sosok Putra Betara Indra sbb:
164. …; mumpuni sakabehing laku; nugel tanah Jawa kaping
pindho;ngerahake jin setan; kumara prewangan, para lelembut ke bawah
perintah saeko proyo kinen ambantu manungso Jawa padha asesanti trisula
weda; landhepe triniji suci; bener, jejeg, jujur; kadherekake
Sabdopalon lan Noyogenggong. (…; menguasai seluruh ajaran (ngelmu);
memotong tanah Jawa kedua kali; mengerahkan jin dan setan; seluruh
makhluk halus berada di bawah perintahnya bersatu padu membantu manusia
Jawa berpedoman pada trisula weda; tajamnya tritunggal nan suci;
benar, lurus, jujur; didampingi Sabdopalon dan Noyogenggong)
173. nglurug tanpa bala; yen menang tan ngasorake liyan; para kawula
padha suka-suka; marga adiling pangeran wus teka; ratune nyembah
kawula; angagem trisula wedha; para pandhita hiya padha muja; hiya iku
momongane kaki Sabdopalon; sing wis adu wirang nanging kondhang; genaha
kacetha kanthi njingglang; nora ana wong ngresula kurang; hiya iku
tandane kalabendu wis minger; centi wektu jejering kalamukti; andayani
indering jagad raya; padha asung bhekti. (menyerang tanpa pasukan; bila
menang tak menghina yang lain; rakyat bersuka ria; karena keadilan
Yang Kuasa telah tiba; raja menyembah rakyat; bersenjatakan trisula
wedha; para pendeta juga pada memuja; itulah asuhannya Sabdopalon; yang
sudah menanggung malu tetapi termasyhur; segalanya tampak terang
benderang; tak ada yang mengeluh kekurangan; itulah tanda zaman
kalabendu telah usai; berganti zaman penuh kemuliaan; memperkokoh
tatanan jagad raya; semuanya menaruh rasa hormat yang tinggi)
Serat DarmagandhulMemahami Serat Darmagandhul dan karya-karya leluhur
kita dibutuhkan kearifan dan netralitas yang tinggi, karena mengandung
nilai kawruh Jawa yang sangat tinggi. Jika belum matang beragama maka
akan muncul sentimen terhadap agama lain. Tentu ini tidak kita
kehendaki. Tiada maksud lain dari saya kecuali hanya ingin mengungkap
fakta dan membedah warisan leluhur dari pendekatan spiritual dan
historis. Dalam serat Dharmagandhul ini saya hanya ingin menyoroti
ucapan ucapan penting pada pertemuan antara Sunan Kalijaga, Prabu
Brawijaya dan Sabdo Palon di Blambangan.
Pertemuan ini terjadi ketika Sunan Kalijaga mencari dan menemukan Prabu
Brawijaya yang tengah lari ke Blambangan untuk meminta bantuan bala
tentara dari kerajaan di Bali dan Cina untuk memukul balik serangan
putranya, Raden Patah yang telah menghancurkan Majapahit. Namun hal ini
bisa dicegah oleh Sunan Kalijaga dan akhirnya Prabu Brawijaya masuk
agama Islam. Karena Sabdo Palon tidak bersedia masuk agama Islam atas
ajakan Prabu Brawijaya, maka mereka berpisah.
Sebelum perpisahan terjadi ada baiknya kita cermati ucapan-ucapan berikut ini:
Sabdo Palon : “Paduka sampun kêlajêng kêlorob, karsa dados jawan,
irib-iriban, rêmên manut nunut-nunut, tanpa guna kula êmong, kula wirang
dhatêng bumi langit, wirang momong tiyang cabluk, kula badhe pados
momongan ingkang mripat satunggal, botên rêmên momong paduka. … Manawi
paduka botên pitados, kang kasêbut ing pikêkah Jawi, nama Manik Maya,
punika kula, ingkang jasa kawah wedang sanginggiling rêdi rêdi Mahmeru
punika sadaya kula, …” (“Paduka sudah terlanjur terperosok, mau jadi
orang jawan (kehilangan jawa-nya), kearab-araban, hanya ikut-ikutan,
tidak ada gunanya saya asuh, saya malu kepada bumi dan langit, malu
mengasuh orang tolol, saya mau mencari asuhan yang bermata satu
(memiliki prinsip/aqidah yang kuat), tidak senang mengasuh paduka. …
Kalau paduka tidakpercaya, yang disebut dalam ajaran Jawa, nama Manik
Maya (Semar) itu saya, yang membuat kawah air panas di atas gunung itu
semua adalah saya, …”)
Ucapan Sabdo Palon ini menyatakan bahwa dia sangat malu kepada bumi dan
langit dengan keputusan Prabu Brawijaya masuk agama Islam.Gambaran ini
telah diungkapkan Joyoboyo pada bait 173 yang berbunyi : “…, hiya iku
momongane kaki Sabdopalon; sing wis adu wirang nanging kondhang; …”
(“…, itulah asuhannya Sabdopalon; yang sudah menanggung malu tetapi
termasyhur; …”).
Dalam ucapan ini pula Sabdo Palon menegaskan bahwa dirinyalah
sebenarnya yang dikatakan dalam kawruh Jawa dengan apa yang dikenal
sebagai “Manik Maya” atau “Semar”.
“Sabdapalon matur yen arêp misah, barêng didangu lungane mênyang
ngêndi, ature ora lunga, nanging ora manggon ing kono, mung nêtêpi
jênênge Sêmar, nglimputi salire wujud, anglela kalingan padhang. …..”
(“ Sabdo Palon menyatakan akan berpisah, begitu ditanya perginya
kemana, jawabnya tidak pergi, akan tetapi tidak bertempat di situ,
hanya menetapkan namanya Semar, yang meliputi segala wujud, membuatnya
samar. …..”)
Sekali lagi dalam ucapan ini Sabdo Palon menegaskan bahwa dirinyalah
yang bernama Semar. Bagi orang Jawa yang berpegang pada kawruh Jawa
pastilah memahami tentang apa dan bagaimana Semar. Secara ringkas dapat
dijelaskan bahwa Semar adalah merupakan utusan gaib Gusti Kang Murbeng
Dumadi (Tuhan Yang Maha Kuasa) untuk melaksanakan tugas agar manusia
selalu menyembah dan bertaqwa kepada Tuhan, selalu bersyukur dan eling
serta berjalan pada jalankebaikan.
Sebelum manusia mengenal agama, keberadaan Semar telah ada di muka
bumi. Beliau mendapat tugas khusus dari Gusti Kang Murbeng Dumadi untuk
menjaga dan memelihara bumi Nusantara khususnya, dan jagad raya pada
umumnya.
Perhatikan ungkapan Sabdo Palon berikut ini : Sabdapalon ature sêndhu:
“Kula niki Ratu Dhang Hyang sing rumêksa tanah Jawa. Sintên ingkang
jumênêng Nata, dados momongan kula. Wiwit saking lêluhur paduka
rumiyin, Sang Wiku Manumanasa, Sakutrêm lan Bambang Sakri, run-tumurun
ngantos dumugi sapriki, kula momong pikukuh lajêr Jawi, ….. ….., dumugi
sapriki umur-kula sampun 2.000 langkung 3 taun, momong lajêr Jawi,
botên wontên ingkang ewah agamanipun, …..” (Sabdo Palon berkata sedih:
“Hamba ini Ratu Dhang Hyang yang menjaga tanah Jawa. Siapa yang
bertahta, menjadi asuhan hamba. Mulai dari leluhur paduka dahulu, Sang
Wiku Manumanasa, Sakutrem dan Bambang Sakri, turun temurun sampai
sekarang, hamba mengasuh keturunan raja-raja Jawa, ….. ….., sampai
sekarang ini usia hamba sudah 2.000 lebih 3 tahun dalam mengasuh
raja-raja Jawa, tidak ada yang berubah agamanya, …..”)
Ungkapan di atas menyatakan bahwa Sabdo Palon (Semar) telah ada di bumi
Nusantara ini bahkan 525 tahun sebelum masehi jika dihitung dari
berakhirnya kekuasaan Prabu Brawijaya pada tahun 1478. Saat ini di
tahun 2007, berarti usia Sabdo Palon telah mencapai 2.532 tahun.
Setidaknya perhitungan usia tersebut dapat memberikan gambaran kepada
kita, walaupun angka-angka yang menunjuk masa di dalam wasiat leluhur
sangat toleransif sifatnya.
Di kalangan spiritualis Jawa pada umumnya, keberadaan Semar diyakini
berupa “suara tanpa rupa”. Namun secara khusus bagi yang memahami lebih
dalam lagi, keberadaan Semar diyakini dengan istilah “mencolo putro,
mencolo putri”, artinya dapat mewujud dan menyamar sebagai manusia
biasa dalam wujud berlainan di setiap masa.
Namun dalam perwujudannya sebagai manusia tetap mencirikan karakter
Semar sebagai sosok “Begawan atau Pandhita”. Hal ini dapat dipahami
karena dalam kawruh Jawa dikenal adanya konsep “menitis” dan “Cokro
Manggilingan”. Dari apa yang telah disinggung di atas, kita telah
sedikit memahami bahwa Sabdo Palon sebagai pembimbing spiritual Prabu
Brawijaya merupakan sosok Semar yang nyata.
Menurut Sabdo Palon dalam ungkapannya dikatakan : “…, paduka punapa
kêkilapan dhatêng nama kula Sabdapalon? Sabda têgêsipun pamuwus, Palon:
pikukuh kandhang. Naya têgêsipun ulat, Genggong: langgêng botên ewah.
Dados wicantên-kula punika, kenging kangge pikêkah ulat pasêmoning
tanah Jawi, langgêng salaminipun.” (“…, apakah paduka lupa terhadap
nama saya Sabdo Palon? Sabda artinya kata-kata, Palon adalah kayu
pengancing kandang, Naya artinya pandangan, Genggong artinya langgeng
tidak berubah. Jadi ucapan hamba itu berlaku sebagai pedoman hidup di
tanah Jawa, langgeng selamanya.”)
Seperti halnya Semar telah banyak dikenal sebagai pamomong sejati yang
selalu mengingatkan bilamana yang di”emong”nya salah jalan, salah
berpikir atau salah dalam perbuatan, terlebih apabila melanggar
ketentuan-ketentuan Tuhan Yang Maha Esa. Semar selalu memberikan
piwulangnya untuk bagaimana berbudi pekerti luhur selagi hidup di dunia
fana ini sebagai bekal untuk perjalanan panjang berikutnya nanti.
Jadi Semar merupakan pamomong yang “tut wuri handayani”, menjadi tempat
bertanya karena pengetahuan dan kemampuannya sangat luas, serta
memiliki sifat yang bijaksana dan rendah hati juga waskitho (ngerti
sakdurunge winarah). Semua yang disabdakan Semar tidak pernah berupa
“perintah untuk melakukan” tetapi lebih kepada “bagaimana sebaiknya
melakukan”. Semua keputusan yang akan diambil diserahkan semuanya
kepada “tuan”nya.
Semar atau Kaki Semar sendiri memiliki 110 nama, diantaranya adalah Ki
Sabdopalon, Sang Hyang Ismoyo, Ki Bodronoyo, dan lain-lain. Di dalam
Serat Darmogandhul diceritakan episode perpisahan antara Sabdo Palon
dengan Prabu Brawijaya karena perbedaan prinsip. Sebelum berpisah Sabdo
Palon menyatakan kekecewaannya dengan sabda-sabda yang mengandung
prediksi tentang sosok masa depan yang diharapkannya.
Berikut ungkapan-ungkapan itu : “….. Paduka yêktos, manawi sampun
santun agami Islam, nilar agami Buddha, turun paduka tamtu apês, Jawi
kantun jawan, Jawinipun ical, rêmên nunut bangsa sanes. Benjing tamtu
dipunprentah dening tiyang Jawi ingkang mangrêti.” (“….. Paduka perlu
faham, jika sudah berganti agama Islam, meninggalkan agama Budha,
keturunan Paduka akan celaka, Jawi (orang Jawa yang memahami kawruh
Jawa) tinggal Jawan (kehilangan jati diri jawa-nya), Jawi-nya hilang,
suka ikut-ikutan bangsa lain. Suatu saat tentu akan dipimpin oleh orang
Jawa (Jawi) yang mengerti.” “….. Sang Prabu diaturi ngyêktosi, ing
besuk yen ana wong Jawa ajênêng tuwa, agêgaman kawruh, iya iku sing
diêmong Sabdapalon, wong jawan arêp diwulang wêruha marang bênêr
luput.” (“….. Sang Prabu diminta memahami, suatu saat nanti kalau ada
orang Jawa menggunakan nama tua (sepuh), berpegang pada kawruh Jawa,
yaitulah yang diasuh oleh Sabda Palon,orangJawan (yang telah kehilangan
Jawa-nya) akan diajarkan agar bisa melihat benar salahnya.”)
Dari dua ungkapan di atas Sabdo Palon mengingatkan Prabu Brawijaya
bahwa suatu ketika nanti akan ada orang Jawa yang memahami kawruh Jawa
(tiyang Jawi) yang akan memimpin bumi nusantara ini. Juga dikatakan
bahwa ada saat nanti datang orang Jawa asuhan Sabdo Palon yang memakai
nama sepuh/tua (bisa jadi “mbah”, “aki”, ataupun “eyang”) yang memegang
teguh kawruh Jawa akan mengajarkan dan memaparkan kebenaran dan
kesalahan dari peristiwa yang terjadi saat itu dan akibat-akibatnya
dalam waktu berjalan.
Hal ini menyiratkan adanya dua sosok di dalam ungkapan Sabdo Palon
tersebut yang merupakan sabda prediksi di masa mendatang, yaitu
pemimpin yang diharapkan dan pembimbing spiritual (seorang pandhita).
Ibarat Arjuna dan Semar atau juga Prabu Parikesit dan Begawan Abhiyasa.
Lebih lanjut diceritakan : “Sang Prabu karsane arêp ngrangkul
Sabdapalon lan Nayagenggong, nanging wong loro mau banjur musna. Sang
Prabu ngungun sarta nênggak waspa, wusana banjur ngandika marang Sunan
Kalijaga: “Ing besuk nagara Blambangan salina jênêng nagara Banyuwangi,
dadiya têngêr Sabdapalon ênggone bali marang tanah Jawa anggawa
momongane. Dene samêngko Sabdapalon isih nglimput aneng tanah sabrang.”
(“Sang Prabu berkeinginan merangkul Sabdo Palon dan Nayagenggong,
namun orang dua itu kemudian raib. Sang Prabu heran dan bingung
kemudian berkata kepada Sunan Kalijaga : “Gantilah nama Blambangan
menjadi Banyuwangi, jadikan ini sebagai tanda kembalinya Sabda Palon di
tanah Jawa membawa asuhannya. Sekarang ini Sabdo Palon masih berkelana
di tanah seberang.”)
Dari kalimat ini jelas menandakan bahwa Sabdo Palon dan Prabu Brawijaya
berpisah di tempat yang sekarang bernama Banyuwangi. Tanah seberang
yang dimaksud tidak lain tidak bukan adalah Pulau Bali. Untuk
mengetahui lebih lanjut guna menguak misteri ini, ada baiknya kita kaji
sedikit tentang Ramalan Sabdo Palon berikut ini.
Ramalan Sabdo PalonKarena Sabdo Palon tidak berkenan berganti agama
Islam, maka dalam naskah Ramalan Sabdo Palon ini diungkapkan sabdanya
sbb :
3. Sabda Palon matur sugal, “Yen kawula boten arsi, Ngrasuka agama
Islam, Wit kula puniki yekti, Ratuning Dang Hyang Jawi, Momong marang
anak putu, Sagung kang para Nata, Kang jurneneng Tanah Jawi, Wus
pinasthi sayekti kula pisahan. (Sabda Palon menjawab kasar: “Hamba tak
mau masuk Islam Sang Prabu, sebab saya ini raja serta pembesar Dang
Hyang se tanah Jawa. Saya ini yang membantu anak cucu serta para raja
di tanah jawa. Sudah digaris kita harus berpisah.)
4. Klawan Paduka sang Nata, Wangsul maring sunya ruri, Mung kula matur
petungna, Ing benjang sakpungkur mami, Yen wus prapta kang wanci,
Jangkep gangsal atus tahun, Wit ing dinten punika, Kula gantos kang
agami, Gama Buda kula sebar tanah Jawa. (Berpisah dengan Sang Prabu
kembali ke asal mula saya. Namun Sang Prabu kami mohon dicatat. Kelak
setelah 500 tahun saya akan mengganti agama Budha lagi (maksudnya
Kawruh Budi), saya sebar seluruh tanah Jawa.)
5. Sinten tan purun nganggeya, Yekti kula rusak sami, Sun sajekken putu
kula, Berkasakan rupi-rupi, Dereng lega kang ati, Yen durung lebur
atempur, Kula damel pratandha, Pratandha tembayan mami, Hardi Merapi
yen wus njeblug mili lahar. (Bila ada yang tidak mau memakai, akan saya
hancurkan. Menjadi makanan jin setan dan lain-lainnya. Belum legalah
hati saya bila belum saya hancur leburkan. Saya akan membuat tanda akan
datangnya kata-kata saya ini. Bila kelak Gunung Merapi meletus dan
memuntahkan laharnya.)
6. Ngidul ngilen purugira, Ngganda banger ingkang warih, Nggih punika
medal kula, Wus nyebar agama budi, Merapi janji mami, Anggereng jagad
satuhu, Karsanireng Jawata, Sadaya gilir gumanti, Boten kenging
kalamunta kaowahan. (Lahar tersebut mengalir ke Barat Daya. Baunya
tidak sedap. Itulah pertanda kalau saya datang. Sudah mulai menyebarkan
agama Buda (Kawruh Budi). Kelak Merapi akan bergelegar. Itu sudah
menjadi takdir Hyang Widi bahwa segalanya harus bergantian. Tidak dapat
bila diubah lagi.)
7. Sanget-sangeting sangsara, Kang tuwuh ing tanah Jawi, Sinengkalan
tahunira, Lawon Sapta Ngesthi Aji, Upami nyabrang kali, Prapteng
tengah-tengahipun, Kaline banjir bandhang, Jerone ngelebne jalmi,
Kathah sirna manungsa prapteng pralaya. (Kelak waktunya paling sengsara
di tanah Jawa ini pada tahun: Lawon Sapta Ngesthi Aji. Umpama seorang
menyeberang sungai sudah datang di tengah-tengah. Tiba-tiba sungainya
banjir besar, dalamnya menghanyutkan manusia sehingga banyak yang
meninggal dunia.)
8. Bebaya ingkang tumeka, Warata sa Tanah Jawi, Ginawe kang paring
gesang, Tan kenging dipun singgahi, Wit ing donya puniki, Wonten ing
sakwasanipun, Sedaya pra Jawata, Kinarya amertandhani, Jagad iki yekti
ana kang akarya. (Bahaya yang mendatangi tersebar seluruh tanah Jawa.
Itu sudah kehendak Tuhan tidak mungkin disingkiri lagi. Sebab dunia ini
ada ditanganNya. Hal tersebut sebagai bukti bahwa sebenarnya dunia ini
ada yang membuatnya.)
Dari bait-bait di atas dapatlah kita memahami bahwa Sabdo Palon
menyatakan berpisah dengan Prabu Brawijaya kembali ke asal mulanya.
Perlu kita tahu bahwa Semar adalah wujud manusia biasa titisan dewa
Sang Hyang Ismoyo. Jadi ketika itu Sabdo Palon berencana untuk kembali
ke asal mulanya adalah alam kahyangan (alam dewa-dewa), kembali sebagai
wujud dewa, Sang Hyang Ismoyo.
Lamanya pergi selama 500 tahun. Dan kemudian Sabdo Palon menyatakan
janjinya akan datang kembali di bumi tanah Jawa (tataran nusantara)
dengan tanda-tanda tertentu. Diungkapkannya tanda utama itu adalah
muntahnya lahar gunung Merapi ke arah barat daya. Baunya tidak sedap.
Dan juga kemudian diikuti bencana-bencana lainnya. Itulah tanda Sabdo
Palon telah datang.
Dalam dunia pewayangan keadaan ini dilambangkan dengan judul: “Semar
Ngejawantah”. Mari kita renungkan sesaat tentang kejadian muntahnya
lahar gunung Merapi tahun lalu dimana untuk pertama kalinya ditetapkan
tingkat statusnya menjadi yang tertinggi : “Awas Merapi”. Saat kejadian
malam itu lahar merapi keluar bergerak ke arah “Barat Daya”.
Pada hari itu tanggal 13 Mei 2006 adalah malam bulan purnama bertepatan
dengan Hari Raya Waisyak (Budha) dan Hari Raya Kuningan (Hindu).
Secara hakekat nama “Sabdo Palon Noyo Genggong” adalah simbol dua
satuan yang menyatu, yaitu : Hindu – Budha (Syiwa Budha).
Di dalam Islam dua satuan ini dilambangkan dengan dua kalimat Syahadat.
Apabila angka tanggal, bulan dan tahun dijumlahkan, maka : 1 + 3 + 5 +
2 + 6 = 17 ( 1 + 7 = 8 ). Angka 17 kita kenal merupakan angka keramat.
17 merupakan jumlah raka’at sholat lima waktu di dalam syari’at Islam.
17 juga merupakan lambang hakekat dari “bumi sap pitu” dan “langit sap
pitu” yang berasal dari Yang Satu, Allah SWT. Sedangkan angka 8
merupakan lambang delapan penjuru mata angin. Di Bali hal ini
dilambangkan dengan apa yang kita kenal dengan “Sad Kahyangan Jagad”.
Artinya dalam kejadian ini delapan kekuatan dewa-dewa menyatu,
menyambut dan menghantarkan Sang Hyang Ismoyo (Sabdo Palon) untuk turun
ke bumi. Di dalam kawruh Jawa, Sang Hyang Ismoyo adalah sosok dewa
yang dihormati oleh seluruh dewa-dewa. Dan gunung Merapi di sini
melambangkan hakekat tempat atau sarana turunnya dewa ke bumi
(menitis).
SIAPA SEJATINYA “SABDO PALON NOYO GENGGONG” ?Setelah kita membaca dan
memahami secara keseluruhan wasiat-wasiat leluhur Nusantara yang ada di
blog ini, maka telah sampai saatnya saya akan mengulas sesuai dengan
pemahaman saya tentang siapa sejatinya Sabdo Palon Noyo Genggong itu.
Dari penuturan bapak Tri Budi Marhaen Darmawan, saya mendapatkan
jawaban : “Sabdo Palon adalah seorang ponokawan Prabu Brawijaya,
penasehat spiritual dan pandhita sakti kerajaan Majapahit.
Dari penelusuran secara spiritual, Sabdo Palon itu sejatinya adalah
beliau : Dang Hyang Nirartha/ Mpu Dwijendra/ Pedanda Sakti Wawu Rawuh/
Tuan Semeru yang akhirnya moksa di Pura Uluwatu.” (merinding juga saya
mendengar nama ini) Dari referensi yang saya dapatkan, Dang Hyang
Nirartha adalah anak dari Dang Hyang Asmaranatha, dan cucu dari Mpu
Tantular atau Dang Hyang Angsokanatha (penyusun Kakawin Sutasoma dimana
di dalamnya tercantum “Bhinneka Tunggal Ika”).
Danghyang Nirartha adalah seorang pendeta Budha yang kemudian beralih
menjadi pendeta Syiwa. Beliau juga diberi nama Mpu Dwijendra dan
dijuluki Pedanda Sakti Wawu Rawuh, beliau juga dikenal sebagai seorang
sastrawan.
Dalam Dwijendra Tattwa dikisahkan sebagai berikut : “Pada Masa Kerajaan
Majapahit di Jawa Timur, tersebutlah seorang Bhagawan yang bernama
Dang Hyang Dwi Jendra. Beliau dihormati atas pengabdian yang sangat
tinggi terhadap raja dan rakyat melalui ajaran-ajaran spiritual,
peningkatan kemakmuran dan menanggulangi masalah-masalah kehidupan.
Beliau dikenal dalam menyebarkan ajaran Agama Hindu dengan nama “Dharma
Yatra”.
Di Lombok Beliau disebut “Tuan Semeru” atau guru dari Semeru, nama
sebuah gunung di Jawa Timur.” Dengan kemampuan supranatural dan mata
bathinnya, beliau melihat benih-benih keruntuhan kerajaan Hindu di
tanah Jawa. Maksud hati hendak melerai pihak-pihak yang bertikai, akan
tetapi tidak mampu melawan kehendak Sang Pencipta, ditandai dengan
berbagai bencana alam yang ditengarai turut ambil kontribusi dalam
runtuhnya kerajaan Majapahit (salah satunya adalah bencana alam
“Pagunungan Anyar”).
Akhirnya beliau mendapat petunjuk untuk hijrah ke sebuah pulau yang
masih di bawah kekuasaan Majapahit, yaitu Pulau Bali. Sebelum pergi ke
Pulau Bali, Dang Hyang Nirartha hijrah ke Daha (Kediri), lalu ke
Pasuruan dan kemudian ke Blambangan. Beliau pertama kali tiba di Pulau
Bali dari Blambangan sekitar tahun caka 1411 atau 1489 M ketika
Kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong.
Beliau mendapat wahyu di Purancak, Jembrana bahwa di Bali perlu
dikembangkan paham Tripurusa yakni pemujaan Hyang Widhi dalam
manifestasi-Nya sebagai Siwa, Sadha Siwa, dan Parama Siwa. Dang Hyang
Nirarta dijuluki pula Pedanda Sakti Wawu Rawuh karena beliau mempunyai
kemampuan supra natural yang membuat Dalem Waturenggong sangat kagum
sehingga beliau diangkat menjadi Bhagawanta (pendeta kerajaan).
Ketika itu Bali Dwipa mencapai jaman keemasan, karena semua bidang
kehidupan rakyat ditata dengan baik. Hak dan kewajiban para bangsawan
diatur, hukum dan peradilan adat/agama ditegakkan, prasasti-prasasti
yang memuat silsilah leluhur tiap-tiap soroh/klan disusun. Awig-awig
Desa Adat pekraman dibuat, organisasi subak ditumbuh-kembangkan dan
kegiatan keagamaan ditingkatkan.
Selain itu beliau juga mendorong penciptaan karya-karya sastra yang
bermutu tinggi dalam bentuk tulisan lontar, kidung atau kekawin.
Pura-pura untuk memuja beliau di tempat mana beliau pernah bermukim
membimbing umat adalah : Purancak, Rambut siwi, Pakendungan, Ulu watu,
Bukit Gong, Bukit Payung, Sakenan, Air Jeruk, Tugu, Tengkulak, Gowa
Lawah, Ponjok Batu, Suranadi (Lombok), Pangajengan, Masceti, Peti
Tenget, Amertasari, Melanting, Pulaki, Bukcabe, Dalem Gandamayu, Pucak
Tedung, dan lain-lain. Akhirnya Dang Hyang Nirartha menghilang gaib
(moksa) di Pura Uluwatu. (Moksa = bersatunya atman dengan Brahman/Sang
Hyang Widhi Wasa, meninggal dunia tanpa meninggalkan jasad).
Setelah mengungkapkan bahwa Sabdo Palon sejatinya adalah Dang Hyang
Nirartha, lalu bapak Tri Budi Marhaen Darmawan memberikan kepada saya
10 (sepuluh) pesan dari beliau Dang Hyang Nirartha sbb:
1. Tuwi ada ucaping haji, utama ngwangun tlaga, satus reka saliunnya,
kasor ento utamannya, ring sang ngangun yadnya pisan, kasor buin
yadnyane satus, baan suputra satunggal. ( bait 5 )Ada sebenarnya ucapan
ilmu pengetahuan, utama orang yang membangun telaga, banyaknya
seratus, kalah keutamaannya itu, oleh orang yang melakukan korban suci
sekali, korban suci yang seratus ini, kalah oleh anak baik seorang.
2. Bapa mituduhin cening, tingkahe menadi pyanak, eda bani ring
kawitan, sang sampun kaucap garwa, telu ne maadan garwa, guru reka,
guru prabhu, guru tapak tui timpalnya. ( bait 6 )Ayahnda memberitahumu
anakku, tata cara menjadi anak, jangan durhaka pada leluhur, orang yang
disebut guru, tiga banyaknya yang disebut guru, guru reka, guru
prabhu, dan guru tapak (yang mengajar) itu.
3. Melah pelapanin mamunyi, ring ida dane samian, wangsane tong
kaletehan, tong ada ngupet manemah, melah alepe majalan, batise twara
katanjung, bacin tuara bakat ingsak. ( bait 8 )Lebih baik hati-hati
dalam berbicara, kepada semua orang, tak akan ternoda keturunannya, tak
ada yang akan mencaci maki, lebih baik hati-hati dalam berjalan, sebab
kaki tak akan tersandung, dan tidak akan menginjak kotoran.
4. Uli jani jwa kardinin, ajak dadwa nah gawenang, patut tingkahe
buatang, tingkahe mangelah mata, gunannya anggon malihat, mamedasin ane
patut, da jua ulah malihat. ( bait 10 )Mulai sekarang lakukan,
lakukanlah berdua, patut utamakan tingkah laku yang benar, seperti
menggunakan mata, gunanya untuk melihat, memperhatikan tingkah laku
yang benar, jangan hanya sekedar melihat.
5. Tingkahe mangelah kuping, tuah anggon maningehang, ningehang raose
melah, resepang pejang di manah, da pati dingeh-dingehang, kranannya
mangelah cunguh, anggon ngadek twah gunanya. ( bait 11 )Kegunaan punya
telinga, sebenarnya untuk mendengar, mendengar kata-kata yang benar,
camkan dan simpan dalam hati, jangan semua hal didengarkan.
6. Nanging da pati adekin, mangulah maan madiman, patutang jua
agrasayang, apang bisa jwa ningkahang, gunan bibih twah mangucap, de
mangucap pati kacuh, ne patut jwa ucapang. ( bait 12 )Jangan segalanya
dicium, sok baru dapat mencium, baik-baiklah caranya merasakan, agar
bisa melaksanakannya, kegunaan mulut untuk berbicara, jangan berbicara
sembarangan, hal yang benar hendaknya diucapkan.
7. Ngelah lima da ja gudip, apikin jua nyemakang, apang patute
bakatang, wyadin batise tindakang, yatnain twah nyalanang, eda jwa
mangulah laku, katanjung bena nahanang. ( bait 13 )Memiliki tangan
jangan usil, hati-hati menggunakan, agar selalu mendapat kebenaran,
begitu pula dalam melangkahkan kaki, hati-hatilah melangkahkannya, bila
kesandung pasti kita yang menahan (menderita) nya.
8. Awake patut gawenin, apang manggih karahaywan, da maren ngertiang
awak, waluya matetanduran, tingkahe ngardinin awak, yen anteng twi
manandur, joh pare twara mupuang. ( bait 14 )Kebenaran hendaknya
diperbuat, agar menemukan keselamatan, jangan henti-hentinya berbuat
baik, ibaratnya bagai bercocok tanam, tata cara dalam bertingkah laku,
kalau rajin menanam, tak mungkin tidak akan berhasil.
9. Tingkah ne melah pilihin, buka anake ka pasar, maidep matetumbasan,
masih ya nu mamilihin, twara nyak meli ne rusak, twah ne melah tumbas
ipun, patuh ring ma mwatang tingkah. ( bait 15 )Pilihlah perbuatan yang
baik, seperti orang ke pasar, bermaksud hendak berbelanja, juga masih
memilih, tidak mau membeli yang rusak, pasti yang baik dibelinya, sama
halnya dengan memilih tingkah laku.
10. Tingkah ne melah pilihin, da manganggoang tingkah rusak, saluire
kaucap rusak, wantah nista ya ajinnya, buine tong kanggoang anak, kija
aba tuara laku, keto cening sujatinnya. ( bait 16 )Pilihlah tingkah
laku yang baik, jangan mau memakai tingkah laku yang jahat, betul-betul
hina nilainya, ditambah lagi tiada disukai masyarakat, kemanapun di
bawa tak akan laku, begitulah sebenarnya anakku.
Akhirnya bapak Tri Budi Marhaen Darmawan mengungkapkan bahwa dengan
penelusuran secara spiritual dapatlah disimpulkan : “Jadi yang
dikatakan “Putra Betara Indra” oleh Joyoboyo, “Budak Angon” oleh Prabu
Siliwangi, dan “Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu” oleh Ronggowarsito
itu, tidak lain dan tidak bukan adalah Sabdo Palon, yang sejatinya
adalah Dang Hyang Nirartha/ Mpu Dwijendra/ Pedanda Sakti Wawu Rawuh/
Tuan Semeru.
Pertanyaannya sekarang adalah: Ada dimanakah beliau saat ini kalau dari
tanda-tanda yang telah terjadi dikatakan bahwa Sabdo Palon telah
datang? Tentu saja sangat tidak etis untuk menjawab persoalan ini.
Sangat sensitif… Ini adalah wilayah para kasepuhan suci, waskitho,
ma’rifat dan mukasyafah saja yang dapat menjumpai dan membuktikan
kebenarannya.
Dimensi spiritual sangatlah pelik dan rumit. Tidak perlu banyak
perdebatan, karena Sabdo Palon yang telah menitis kepada “seseorang”
itu yang jelas memiliki karakter 7 (tujuh) satrio seperti yang telah
diungkapkan oleh R.Ng. Ronggowarsito, dan juga memiliki karakter Putra
Betara Indra seperti yang diungkapkan oleh Joyoboyo.
Secara fisik “seseorang” itu ditandai dengan memegang sepasang pusaka
Pengayom Nusantara hasil karya beliau Dang Hyang Nirartha.” “Kesimpulan
akhirnya adalah : Putra Betara Indra = Budak Angon = Satrio Pinandhito
Sinisihan Wahyu seperti yang telah dikatakan oleh para leluhur
Nusantara di atas adalah sosok yang diharap-harapkan rakyat nusantara
selama ini, yaitu beliau yang dinamakan “SATRIO PININGIT”.Jadi, Satrio
Piningit (SP) = adalah seorang Satrio Pinandhito (SP) = yaitulah Sabdo
Palon (SP) = sebagai Sang Pamomong (SP) = dikenal juga dengan nama
Semar Ponokawan (SP) = pemegang pusaka Sabdo Palon (SP) = berada di
“SP” (?) = tepatnya di daerah “SP” (?) = dimana terdapat “SP” (?) =
dengan nama “SP” dan “SP” (?) .
Satrio Piningit tidak akan sekedar mengaku-aku bahwa dirinya adalah
seorang Satrio Piningit. Namun beliau akan “membuktikan” banyak hal
yang sangat fenomenal untuk kemaslahatan rakyat negeri ini.
Kapan waktunya? Hanya Allah SWT yang tahu. Subhanallah… Masya Allah la
quwata illa billah…” Dari apa yang telah saya ungkapkan sejauh ini
mudah-mudahan membawa banyak manfaat bagi kita semua, terutama hikmah
yang tersirat dari wasiat-wasiat nenek moyang kita, para leluhur
Nusantara. Menjadi harapan kita bersama di tengah carut-marut keadaan
negeri ini akan datang cahaya terang di depan kita.
Semoga Allah ridho. JAYALAH NEGERIKU, TEGAKLAH GARUDAKU, JAYALAH NUSANTARAKU… (nurahmad)